Kamis, 20 Mei 2010

Informasi mengenai beasiswa “jumputan”.

Raut wajah Ibu Jawi begitu gembira melihat rapor cucunya, Ijong, siswa kelas III SDN Rawa Kemiri, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Namun, keceriaan itu bukan semata hanya karena melihat hasil belajar Ijong yang baik, melainkan kegembiraan karena Ijong bisa kembali bersekolah setelah sempat putus sekolah akibat terbentur masalah biaya.

Ijong memang sempat putus sekolah saat masih duduk di kelas II SD. Kini, anak itu bisa melanjutkan sekolahnya dan sudah duduk di kelas III.

Kesempatan Ijong bisa melanjutkan kembali sekolah itu bukan atas biaya pribadi atau bantuan pemerintah, melainkan berkat bantuan beasiswa dari Komunitas Teplok, yaitu sebuah komunitas pencari dana beasiswa yang dipelopori para pemuda di daerah tempat Ijong tinggal di kawasan Kebon Kelapa, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Para pemuda di daerah itu tergugah dan menciptakan sebuah ide membuat suatu komunitas yang khusus berkonsentrasi pada bantuan biaya pendidikan. Ide itu muncul setelah diketahui banyak anak di daerah tersebut yang putus sekolah akibat ketidakmampuan dalam hal materi.

Beras jumputan

Awalnya, Komunitas Teplok melakukan pemberian beasiswa kepada anak-anak yang kurang mampu untuk tetap dapat bersekolah. Caranya sangat sederhana, yaitu dengan mendistribusikan "kotak" kepada tiap orang yang mau ikut bergabung membantu biaya pendidikan anak-anak di kawasan tersebut.

Sepintas, cara yang dilakukan oleh komunitas ini tak ubahnya dengan "beras jumputan" yang banyak dilakukan masyarakat Indonesia di beberapa daerah untuk berbagi kepada warga lain yang mengalami kesulitan. Jika konsep "beras jumputan" adalah menyisihkan beras, dikumpulkan, lalu dibagikan, para warga di kawasan ini menyisihkan sebagian rezekinya berupa uang untuk diisi ke dalam kotak tersebut. Jadilah cara ini disebut dengan "beasiswa jumputan".

Andi Irhami, Ketua Komunitas Teplok, menuturkan bahwa kata “teplok” digunakan karena kotak yang telah diberikan kepada para warga itu diletakkan menempel pada tembok rumah tiap-tiap warga. "Jadi, mirip lampu teplok," ujar Andi yang ditemui Kompas.com, Minggu (17/4/2010).

Setiap bulan, lanjut Andi, "kotak" yang telah didistribusikan pada warga itu kemudian dihimpun atau dijumput kembali oleh anggota Komunitas Teplok. Isinya kemudian didistribusikan dan digunakan sebagai beasiswa untuk anak-anak yang sebelumnya telah didata.

Andi mengatakan, saat ini komunitas tersebut sudah memiliki lima anak asuh yang berhak mendapatkan beasiswa. Tak hanya beasiswa penuh, beasiswa itu juga berupa alat-alat sekolah dan uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).

"Setiap anak yang mendapatkan beasiswa akan dipantau perkembangannya, mulai dari kemajuan belajar sampai kebutuhan yang berkaitan dengan pendidikannya," ucap Andi.

Dia menambahkan, setiap bulannya, selain menghimpun donasi yang diterima komunitas, dia dan rekan-rekannya juga melakukan pendataan baru pada masyarakat yang kurang mampu dalam pembiayaan pendidikan anak-anaknya.

"Kegembiraan yang Ibu Jawi rasakan akan terus menjadi penyemangat kami untuk berusaha memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses pendidikan," ujarnya dengan nada optimistis.

sumber: kompas

Tidak ada komentar: