Rabu, 16 Juni 2010

HAM
HAM saat ini telah dijadikan "senjata" atau alasan dalam merebut sesuatu. HAM diletakkan sedemikian, bagaikan kekuatan yang tidak boleh ditentang. Amerika Serikat pun menggunakan HAM sebagai alat penekan terhadap negara-negara di dunia.

Setelah HAM dipakai sebagai issue global bersamaan dengan masalah demokratisasi dan lingkungan hidup, ada kecenderungan pemanfaatan HAM oleh orang per orang atau kelompok-kelompok tertentu, yang di masa lalu, pemahaman dan pemanfaatan pengetahuan HAM dapat dikatakan tidak ada. Berbagai kejadian masa lalu ada upaya diungkit dengan dalih HAM, walaupun sangat miskin data. Bahkan ada kecurigaan dan kesan oleh beberapa pihak, bahwa upaya tersebut hanya sekedar untuk mencari dana, mencari popularitas, sekedar menyenangkan pihak lain, dan sebaliknya mencari kesalahan orang lain, demi tujuan tertentu atau balas dendam.
Di Indonesia, masalah HAM diatur dalam UU RI No. 39/1999. Pasal demi pasal, menempatkan setiap warga negara Indonesia pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib dihormati, dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sayangnya, pemahaman atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sering langsung dibaca dan diterapkan secara sepotong dan sepihak, tanpa melihat situasi dan dalam kerangka apa. Padahal kita tahu bahwa manusia itu, disamping sebagai individu, dia juga sebagai mahluk sosial. Dimana dalam kehidupan sosial tersebut berkembang adanya dua kebutuhan. Pertama, kebutuhannya sebagai individu dan kedua, kebutuhan bersama sebagai sesama manusia.
Namun ada kecenderungan orang lebih kuat egonya. Orang lebih mementingkan dirinya sendiri. Kondisi inilah yang membuat orang sering terjebak untuk bersikap apriori dan sektarian, atau tidak mau melihat suatu permasalahan secara komprehensif, termasuk masalah HAM. Artinya, kelompok ini menempatkan hak asasi dan kebebasan dasar manusia selaku individu pada tempat paling atas, tidak mau melihat kepentingan atau hak orang lain dan masyarakat.

Menempatkan HAM secara serampangan dapat dilihat misalnya ; (a) Investigasi Tim Ad Hoc pimpinan M.M. Bilah dari Komnas HAM menilai aliran pengungsi di Aceh telah dibaca sebagai pengusiran penduduk dari tempat tinggalnya sehingga masuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
(b) Tap MPRS No : XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran ajaran Komunisme/ Marxisme dan Leninisme telah dinyatakan bertentangan dengan HAM oleh Ketua Komnas HAM dihadapan Panitia Ad Hoc II BP MPR (Media Indonesia, 20 Juni 2003).
Suatu kenyataan bahwa hal tersebut di atas telah membuat berbagai tanggapan dan reaksi. Editorial Media Indonesia, 18 Juni 2003 dan tanggapan masyarakat melalui televisi, menggambarkan adanya tuntutan agar Komnas HAM perlu bekerja lebih profesional dan untuk tidak bekerja secara tendensius.
Bekerja secara profesional bukan hanya mengandalkan kecerdasan intelektual saja. Umumnya orang masih memiliki anggapan bahwa seseorang yang cerdas atau mempunyai intelektual baik, adalah orang yang baik atau terbaik. Orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi umumnya dipuja, ditempatkan pada posisi yang dihormati dan sebagai tempat harapan. Karena sikap lingkungan ini akhirnya ada kecenderungan bahwa apa yang dikatakan orang yang cerdas tersebut dianggap selalu benar.
Padahal tidaklah demikian. Kita tidak dapat hanya mengandalkan kecerdasan intelektual saja, tetapi kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual sangatlah dipentingkan. Adanya kecerdasan spiritual maka disamping intelektual dan emosi, maka hati nurani yang putih yang didasarkan pada agama akan ikut berbicara.
Menyelewengkan hasil analisis hanya sekedar untuk memfitnah, menyalahkan pihak lain, menjatuhkan, menyerang demi kepentingan sesaat, tidak akan terjadi jika ada kecerdasan spiritual. Sebab seseorang akan berpikir dan sadar bahwa hal-hal yang bersifat tendensius negatif seperti memfitnah, menyerang, menyalahkan, adu domba dan mendiskreditkan tersebut, kelak kemudian hari akan diperhitungkan oleh Tuhan.
Adanya kecerdasan spiritual, orang akan selalu dapat menempatkan segala sesuatu itu dari kacamata kebenaran, baik kebenaran yang sifatnya umum, berdasarkan hukum maupun kebenaran sebagaimana ajaran agama. Dengan demikian, orang seperti ini memiliki sikap yang lebih manusiawi dan lebih mementingkan orang lain atau umum.
Bila kita melihat pengungsi di Aceh dan Ketetapan MPRS tersebut dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual kita secara padu, maka kita dapat menyatakan bahwa terjadinya pengungsi di Aceh adalah kehendak masyarakat untuk mencari tempat yang aman dan Ketetapan MPRS No : XXV/MPRS/1966 adalah demi negara dan bangsa.
Kembali ke permasalahan pokok, bahwa dalam menegakkan HAM, kita harus melakukan pendekatan dengan perspektif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena kita hidup dalam konteks berbangsa dan bernegara.
UUD 1945 dengan Amandemennya pada Pasal 28J (2) : "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."
Sedangkan dalam Pasal 73 UU RI No. 39/1999 juga dijelaskan bahwa Hak dan kebebasan itu dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata, antara lain untuk ketertiban umum dan kepentingan bangsa.
Menyimak aturan tersebut, maka Ketetapan MPRS No : XXV/MPRS/1966 hendaknya jangan hanya disoroti dari sisi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia yang dibatasi, tetapi haruslah didekati dari perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, bahwa ketetapan tersebut dibuat untuk kepentingan yang lebih besar, yakni demi kepentingan negara dan bangsa.
Prof. J.H.A. Logemann menyatakan, negara adalah organisasi kekuasaan, yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi, untuk mengatur masyarakat. Sedangkan sifat hakikat negara itu sendiri mencakup hal-hal ;
(a) sifat memaksa (b) sifat monopoli dan (c) sifat mencakup semua.
Sifat monopoli, artinya negara memiliki sifat monopoli dalam menetapkan tujuan bersama masyarakat. Misalnya, negara dapat menyatakan Partai Politik tertentu dilarang karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat dan negara. Hal ini tidak saja terjadi di negara berkembang, tetapi di negara maju yang mengagung-agungkan masalah HAM pun melakukan hal ini.
Di Inggris, setelah Pangeran William pewaris tahta kerajaan melangsungkan ulang tahunnya ke -21, saat itu dinyatakan bahwa pers sudah dapat meliput dan memberitakan pribadi Pangeran William. Tentunya hal ini menunjukkan bahwa di Inggris, juga ada pembatasan atas suatu kebebasan, kapan boleh dilakukan dan kapan tidak boleh dilakukan
Ternyata, hak dan kebebasan itu tidak selalu mutlak. Dalam kehidupan ini diperlukan pembatasan, dan pembatasan itu memang diperlukan demi kepentingan hal yang lebih besar, seperti demi kepentingan umum, negara dan bangsa.
Dengan demikian, kita dapat menyatakan bahwa dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, Tap MPRS No : XXV/MPRS/1966 tidak melanggar HAM. Adanya pembubaran PKI dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di NKRI serta larangan kegiatan penyebaran faham dan ajaran Komunisme/ Marxisme dan Leninisme justru untuk memberikan perlindungan HAM bagi rakyat Indonesia, dari praktek-praktek keji ala komunis.
Bangsa Indonesia seharusnya sadar, baik untuk masa kini dan masa yang akan datang, bahwa ajaran komunisme tidak layak untuk hidup di dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sejarah telah mencatat, bagaimana perilaku PKI masa lalu. Menyebarkan fitnah, menghalalkan segala cara dengan keji dan mengeksploitasi pertentangan kelas dalam kehidupan masyarakat, merupakan cara-cara PKI.
Bila kita tengok ke belakang, bagaimana kejinya orang-orang PKI membunuh orang-orang lawan politiknya, pada peristiwa Madiun tahun 1948. Menyebar fitnah adanya Dewan Jenderal dan membunuhnya secara keji para Jenderal-Jenderal pada saat peristiwa G.30S/PKI tahun 1965. Apa yang dilakukan PKI itu, bertujuan untuk mengkomuniskan Indonesia. Bisa kita bayangkan bahwa PKI dalam upaya mencapai tujuannya dapat melakukan berbagai cara dan menghalalkan segala cara, termasuk melanggar HAM orang lain.
Kejadian belakangan ini, adanya demonstrasi buruh terhadap perusahaan dengan cara tidak proporsional, mengakibatkan hengkangnya investor dari Indonesia, merupakan salah satu bentuk pertentangan kelas yang selalu dihembus-hembuskan para provokator. Perjuangan kelas buruh yang digembor-gemborkan untuk kesejahteraan buruh, berbalik menjadi kesengsaraan bagi buruh karena pabrik tutup dan mereka menganggur.
Ajaran pertentangan kelas, fitnah, adu domba dan menghalalkan segala cara sebagai salah satu bentuk dari ajaran PKI seperti itulah yang dilarang oleh pemerintah. Seharusnya seluruh individu warga negara Indonesia sadar akan bahaya latent komunisme. PKI sebagai partai terlarang dan larangan ajaran dan faham komunisme yang ada saat ini sebaiknya disikapi secara arif. Hendaknya larangan tersebut tidak disikapi hanya sebagai pembatasan hak asasi manusia. Sebaliknya wacana yang harus dikembangkan adalah bahwa larangan tersebut pada dasarnya untuk memberikan perlindungan terhadap hak yang lebih besar, yakni demi negara dan bangsa Indonesia.
Wacana untuk mencabut Tap MPRS No: XXV/MPRS/1966 hendaknya tidak dimunculkan lagi hanya sekedar menyatakan bahwa Ketetapan tersebut bertentangan dengan HAM, tanpa melihat mengapa dan kepentingan apa adanya Ketetapan tersebut. Harus diingat, para wakil rakyat yang menetapkan Ketetapan pada waktu itu, pada umumnya adalah pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan. Beliau-beliau sudah sangat faham akan perilaku orang-orang PKI atau penganut ajaran komunisme. Sudah berkali-kali PKI berusaha untuk menusuk Republik Indonesia dari dalam. Karena itulah lahir Ketetapan MPRS tersebut.

Di akhir tulisan ini ingin ditekankan bahwa masalah HAM harus dilihat tidak sepotong atau sepihak saja, tetapi harus dilihat secara utuh dalam konteks apa. TAP MPRS No : XXV/MPRS/1966 tidak dapat dikatakan melanggar HAM, tetapi justru diperlukan untuk memberikan perlindungan HAM demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa. Semoga ketetapan ini dapat dikukuhkan menjadi undang-undang, bila kita ingin bangsa dan negara Indonesia selamat.

Tidak ada komentar: